Rabu, 10 Agustus 2016

Perpusda Mojokerto Hari Ini
.
Sembilan tahun yang lalu, saya mengingat Perpustakaan Daerah Kabupaten Mojokerto sebagai sebuah santuari. Hanya tempat berlindung dari godaan tukang bakso dan kawan-kawannya. Tidak lebih. Tidak ada bacaan yg bagus, jumlah bukunya mengharukan, dan tabiat petugasnya tidak bisa dikatakan baik. Hanya saja di situ saya bisa duduk santai sambil membaca koran di bawah suhu udara yg dikontrol oleh pendingin ruangan. Juga, saya selalu merasa aman sebab hanya di sini uang saku sekolah saya yang memang tipis itu bisa tetap utuh.
.
Kini fasilitas tersebut telah berpindah tempat. Gedung lama yang berada tepat di sebelah selatan SMAN 1 Sooko sudah ditinggalkan dan dibiarkan kosong. Dari Jl. Ra. Basuni, ia berpindah ke Desa Jabon dan bermertamorphosis menjadi sebuah fasilitas yg lebih modern dengan koleksi bacaan yang meski nda terlalu wah tapi nda sampai isin-isin i seperti dulu. Di salah satu sisi ruangan, juga tertata deretan komputer desktop berlayar LCD yang sepertinya difungsikan sebagai perpustakaan digital. Saya sendiri belum sempat mencoba mengoperasikannya. Tapi semua itu rasanya sdh cukup untuk sebuah kabupaten yang sedang mempersiapkan diri membangun peradaban literasinya sendiri. Meski, tentu saja, untuk menuju ke sana masih diperlukan beberapa perbaikan fisik.
.
Yang paling istimewa dari Perpusda yang sekarang saya kira adalah SDM-nya. Pagi ini saya sudah bersalaman dengan pemimpin/kepala operasionalnya. Meski beliau memiliki senyuman seorang Santa Claus, karena pertimbangan sopan santun sekaligus waktu yang mepet, saya menahan diri untuk tidak berkenalan secara pribadi dg beliau. Masih bukan waktu yang tepat saya kira.
.
Menurut legenda, setiap bulan pada Ahad pekan ke-3, Perpus Daerah ini menggelar diskusi literasi. Ada bedah buku yang kemudian dilanjut dengan upacara pembacaan puisi dari penyair-penyair Mojokerto dan kota-kota lainnya. Benar-benar legenda yang indah, sampai pada akhirnya --pagi ini, saya membuktikan bahwa legenda itu ternyata adalah fakta dan agenda itu bertajuk Terminal Sastra, lebih besar dari halte ataupun bus stop. Meski saya lebih curiga bahwa tajuk itu diambil sebab posisi tempat Perpusda yang tidak jauh dari terminal bus Kertajaya Mojokerto --tempat yang sangat mudah diakses oleh semua orang bahkan ketika mereka berasal dari kota lain.
.
Di sana saya bertemu Pak Teng Soe, seorang penulis dan penyair, sekaligus dosen yang sebenarnya masih mengajar di satu gedung dengan tempat saya kuliah dulu tapi tidak pernah benar-benar menjadi dosen saya. Beliau mengajar Sastra Indonesia sementara saya belajar bagaimana mengajar Bahasa Inggris. Beliau datang sebagai pembicara untuk bukunya sendiri yang beliau tulis beberapa waktu yang lalu ketika mengajar di sebuah universitas di kota Seoul, Korea Selatan.
.
Melihat bagaimana acara ini digelar dan siapa yang diundang, ia jelas bukan acara lelucon yang bisa dijadikan bahan olok-olokan stand up comedian sekalipun. Terlihat sekali misi literasinya yang serius dan menggebu-gebu.
.
Di tengah kepungan budaya visual televisi kita yg kian mengkhawatirkan, serta banyaknya kepalsuan informasi di dalam internet, perpustakaan mungkin adalah satu-satunya santuari yang bisa mengamankan pikiran kita. Dan acara rutinan di Perpusda Mojokerto ini saya kira tepat sekali untuk digelar sebab sangat berpeluang mengundang lebih banyak masyarakat untuk kembali memasuki dan mencintai budaya literal.
.
Ingat, jauh sebelum membangun piramida, bangsa Mesir harus lebih dulu menemukan teknik hyrogliph. Tanpa teknologi yg disebut tulisan ini, kita tidak akan pernah memasuki era sejarah dan hanya terus-terusan sibuk berburu dan mengumpulkan makanan serta tidur di gua-gua. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar