Perpusda Mojokerto Hari Ini
.
Sembilan tahun yang lalu, saya
mengingat Perpustakaan Daerah Kabupaten Mojokerto sebagai sebuah
santuari. Hanya tempat berlindung dari
godaan tukang bakso dan kawan-kawannya. Tidak lebih. Tidak ada bacaan yg
bagus, jumlah bukunya mengharukan, dan tabiat petugasnya tidak bisa
dikatakan baik. Hanya saja di situ saya bisa duduk santai sambil membaca
koran di bawah suhu udara yg dikontrol oleh pendingin ruangan. Juga,
saya selalu merasa aman sebab hanya di sini uang saku sekolah saya yang
memang tipis itu bisa tetap utuh.
.
Kini fasilitas tersebut
telah berpindah tempat. Gedung lama yang berada tepat di sebelah selatan
SMAN 1 Sooko sudah ditinggalkan dan dibiarkan kosong. Dari Jl. Ra.
Basuni, ia berpindah ke Desa Jabon dan bermertamorphosis menjadi sebuah
fasilitas yg lebih modern dengan koleksi bacaan yang meski nda terlalu
wah tapi nda sampai isin-isin i seperti dulu. Di salah satu sisi
ruangan, juga tertata deretan komputer desktop berlayar LCD yang
sepertinya difungsikan sebagai perpustakaan digital. Saya sendiri belum
sempat mencoba mengoperasikannya. Tapi semua itu rasanya sdh cukup untuk
sebuah kabupaten yang sedang mempersiapkan diri membangun peradaban
literasinya sendiri. Meski, tentu saja, untuk menuju ke sana masih
diperlukan beberapa perbaikan fisik.
.
Yang paling istimewa dari
Perpusda yang sekarang saya kira adalah SDM-nya. Pagi ini saya sudah
bersalaman dengan pemimpin/kepala operasionalnya. Meski beliau memiliki
senyuman seorang Santa Claus, karena pertimbangan sopan santun sekaligus
waktu yang mepet, saya menahan diri untuk tidak berkenalan secara
pribadi dg beliau. Masih bukan waktu yang tepat saya kira.
.
Menurut legenda, setiap bulan pada Ahad pekan ke-3, Perpus Daerah ini
menggelar diskusi literasi. Ada bedah buku yang kemudian dilanjut dengan
upacara pembacaan puisi dari penyair-penyair Mojokerto dan kota-kota
lainnya. Benar-benar legenda yang indah, sampai pada akhirnya --pagi
ini, saya membuktikan bahwa legenda itu ternyata adalah fakta dan agenda
itu bertajuk Terminal Sastra, lebih besar dari halte ataupun bus stop.
Meski saya lebih curiga bahwa tajuk itu diambil sebab posisi tempat
Perpusda yang tidak jauh dari terminal bus Kertajaya Mojokerto --tempat
yang sangat mudah diakses oleh semua orang bahkan ketika mereka berasal
dari kota lain.
.
Di sana saya bertemu Pak Teng Soe, seorang
penulis dan penyair, sekaligus dosen yang sebenarnya masih mengajar di
satu gedung dengan tempat saya kuliah dulu tapi tidak pernah benar-benar
menjadi dosen saya. Beliau mengajar Sastra Indonesia sementara saya
belajar bagaimana mengajar Bahasa Inggris. Beliau datang sebagai
pembicara untuk bukunya sendiri yang beliau tulis beberapa waktu yang
lalu ketika mengajar di sebuah universitas di kota Seoul, Korea Selatan.
.
Melihat bagaimana acara ini digelar dan siapa yang diundang, ia jelas
bukan acara lelucon yang bisa dijadikan bahan olok-olokan stand up
comedian sekalipun. Terlihat sekali misi literasinya yang serius dan
menggebu-gebu.
.
Di tengah kepungan budaya visual televisi kita
yg kian mengkhawatirkan, serta banyaknya kepalsuan informasi di dalam
internet, perpustakaan mungkin adalah satu-satunya santuari yang bisa
mengamankan pikiran kita. Dan acara rutinan di Perpusda Mojokerto ini
saya kira tepat sekali untuk digelar sebab sangat berpeluang mengundang
lebih banyak masyarakat untuk kembali memasuki dan mencintai budaya
literal.
.
Ingat, jauh sebelum membangun piramida, bangsa Mesir
harus lebih dulu menemukan teknik hyrogliph. Tanpa teknologi yg disebut
tulisan ini, kita tidak akan pernah memasuki era sejarah dan hanya
terus-terusan sibuk berburu dan mengumpulkan makanan serta tidur di
gua-gua. Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar